Tulisan ini dibuat untuk mengikuti #WritingChallenge yang diadakan Kmpus fiksi hari ketiga (20 januari 2017)
Aku tahu, tidak semua mimpi bisa tercapai, aku juga tahu, seringkali kenyataan mungkin tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, tapi tidak salah kan kita bermimpi?
"Lagi mikir apa?"tanyanya yang baru datang dari kamar kecil di ballroom ini.
Aku menggeleng, lalu tersenyum padanya, "Kamu kok ganteng banget sih malam ini? Mau ketemu mantan ya?" godaku.
"Nggak lah, kan buat nemenin kamu ke kondangan, kamu kali yang ketemu mantan kamu."
Aku terkekeh, "Iya, dia kok tambah ganteng ya setelah putus dari aku?"
Kulihat dia mendecak, "Mau bahas mantan ini jadinya?"
"Terserah kamu, aku oke aja." candaku.
"Iya iya, yang mantannya seganteng Rio Dewanto."
Aku pura-pura mengangguk antusias "Kenapa ya aku dulu lebih milih kamu daripada dia?"
"Kamu lagi migren dulu kali, makanya nggak mikir waktu milih aku." jawabnya ketus.
Dia cemburu, lagi. Betapa senangnya aku mengetahui bahwa lelaki di depanku itu bisa cemburu.
"Kita masih main permainan kemarin kan?" tanyaku kemudian, sambil menggandengnya untuk menuju belakang ballroom.
"Permainan yang mana?"
"Yang saling bertanya?"
"Terserah kamu " jawabnya.
"Kamu cemburu?"
"Cemburu sama siapa? Sama mantanmu? Ogah!"
Aku tertawa "Oke, kamu nggak cemburu, aku kedalem boleh?"
"Ngapain?"
"Ya nemuin mantan, dia kan sendirian." aku kembali menggodanya.
"Ih, kamu tuh ya!" ancamnya, kini ia merangkul bahuku.
Aku tertawa keras kali ini "Tinggal jujur aja susah banget, bilang cemburu kek."
"Aku nggak cemburu!" elaknya.
"Masih aja ngelak."
"Biarin."
Aku tersenyum, lalu mencium pipinya sekilas "Lain kali bilang kalau cemburu man."
Kini aku direngkuh di pelukannya, "Kamu punyaku, bukan punya dia lagi, jadi jangan macam-macam."
"Aku bukan barang kali."
"Memang bukan, tapi kamu itu wanita langka yang nggak akan aku lepas dengan gampangnya." katanya "Apa ada harapan yang ingin kamu capai tahun ini?" tanyanya kemudian.
"Harapan?" tanyaku lagi.
Dia mengangguk "Apa saja, sebutkan harapan yang ingin kamu capai tahun ini."
Aku berpikir sejenak, bertanya pada diri sendiri. "Bisa kuliah lagi?"
"Kuliah lagi? buat apa?"
"Aku suka belajar, jadi maunya ya sekolah lagi biar otakku nggak karatan sama hal yang nggak penting."
"Kan akhirnya nanti kita menikah kamu juga dirumah, ngurus anak, ngurus suami, kenapa mesti sekolah tinggi?"
"Menikah? Kita?" aku kembali menggodanya, kulihat ia cemberut. "Bukan gitu, aku nggak masalah sama urusan rumah tangga atau apapun, tapi aku ingin sekolah lagi biar nanti aku jadi guru yang terbaik buat anakku."
Kini ia tersenyum "Sebutkan lagi"
"Apa ya? jalan-jalan sama keluargaku?"
"Mau jalan kemana?"
"Bali aja, yang deket dan nggak ribet" aku menjawabnya.
"Terus?"
"Menuhin rak buku di kamar termasuk?" tanyaku memastikan.
"Kamu mau nambah buku apa lagi?" tanyanya.
"Ih, kan bukunya Nicholas Sparks sama Jojo Moyes punyaku belum lengkap, mumpung ini masih awal tahun, aku bikin resolusi buat menuhin koleksinya Nicholas Sparks sama Jojo Moyes."
"Terus?"
"Ke Bromo?"
"Ngapain? kan dingin. Kamu bukannya lebih suka pantai?"
"Iya sih, tapi nggak ada salahnya kan ke gunung? Kalau kamu belum tahu, kadang, gunung Bromo kelihatan dari rumah."
"Yang terakhir?"
"Menikah masuk hitungan nggak?" tanyaku memastikan.
Dia mengangkat bahu, kemudian aku tertawa.
"Nikahnya tunggu aku lulus kuliah ya?" tawarku.
"Kelamaan sayang."
"Yaudah, cari perempuan lain aja." kataku cuek.
"Ih, dasar!" dia mencubit hidungku. "Yang terakhir?"
"Pulang! Banyakin waktu sama keluarga, biar gampang dirayu buat cepet nikah!"
Kemudian dia mengangguk, menggandeng tanganku untuk kembali ke kerumunan pesta pernikahan salah satu teman kami.
Comments
Post a Comment