Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2017

Liefdesgeschiedenis - Wrap My Heart (14)

"Yakin kamu mau makan segitu banyak?" tanya kak Andra dengan heran. Aku mengangguk. "Kenapa?" "Nggak papa, biasanya kamu makan pakai diatur gitu." "Kak, orang patah hati itu bisa berbuat hal yang di luar nalar. Daripada aku loncat dari lantai tujuh rumah sakit kan mending aku di sini, makan kue enak begini." kataku enteng. "Mau?" aku menyuapkan salah satu cupcake padanya. "Apa itu?" tanya sambil mengunyah. " Till I Miss you ." Dia mengangguk "Harusnya kemarin waktu antar kamu pulang sambil makan ini ya?" "Kenapa memangnya?" "Cake-nya kan kamu banget. Till I Miss You , kaya chat aku kan?" Aku mengangguk, melanjutkan menyantap cake lain. “Itu apa?" tunjuknya. " Choco Monkey ." "Lucu." "Iya lucu, monyetnya kaya kakak." aku terkekeh. "Berani banget ya bilang aku monyet? Kalau aku monyet ber

Liefdesgeschiedenis - Two Season (13)

Selalu ada dua sisi dalam kehidupan kita; suka dan duka, senang dan tangis. Maka dalam cinta hal itu juga terjadi, akan ada perpisahan di setiap perjumpaan. Pram kembali memelukku saat kami sampai di ruanganku. Dia tak mengatakan apa pun. Hanya memelukku erat. “Pram, sudah.” Dia tak bergerak, tangannya masih mendekapku. “Hei, sudah, ayo duduk.” Aku menariknya ke sofa. “Aku mau bilang sama asisten aku dulu kalau praktikku harus diundur.” lalu aku berusaha melepasnya. Untuk keluar dari ruanganku, menuju asisten yang mejanya berada di depan ruanganku. Aku kembali beberapa menit kemudian, dia masih duduk dengan wajah yang menghadap lantai. “Ada apa?” tanyaku. Pram masih tak bergerak, akhirnya aku mengambil minum di mejaku, meletakkan di depannya. Dia mendongak, melihatku dengan tatapan penuh rasa bersalah “Maaf.” Aku tersenyum “Aku nggak pa-pa, sudah.” “Maaf in aku karena sudah melakukan kesalahan yang menghancurkan kita.” Aku diam, membia

Liefdesgeschiedenis - Twist My Heart (12)

“Twist my heart?” aku membuka cokelat yang pagi ini diberkan oleh kak Andra. Dia mengangguk, lalu duduk di mejaku, mengambil pigora foto dan memperhatikannya “Kamu waktu kecil kok beda ya sama sekarang?” “Ya beda, aku kan tumbuh besar, nggak kecil terus.” Dia terkekeh “Kamu dekat sama kakakmu?” Aku mengangguk “Dia itu partner-in-crime ku, nggak jarang kita sering berantem terus sejam berikutnya dia udah jadi kakak yang perhatian sama adiknya.” “Enak ya? Aku yang anak tunggal kadang iri sama temen-temen yang punya saudara.” “Ya begitulah kak, kadang ya ada enaknya, kadang juga nggak enak, kak Adrian itu suka ngomel kalau aku punya pacar atau teman lelaki.” “Iya? Nama kakak kamu hampir sama kaya namaku.” Aku mengangguk “Dia itu orang pertama yang nggak setuju waktu aku kuliah di Jakarta, katanya Jakarta itu nggak baik buat aku.” “Memang.” “Ya tapi kan aku udah membuktikan kalau aku bisa jaga diri sendiri.” “Tapi jaga hati nggak bisa.” d

Liefdesgeschiedenis - Till I Miss You (11)

“Gimana mau dapet jodoh kalau perempuan disuruh nunggu sampai dua jam begini?” tanyaku saat ia melepas jas putihnya. Kak Andra tersenyum “Kamu kan dokter, masa kaya abege sih ngambek karena ada pasienku yang gawat tadi.” “Ih, namanya perempuan mana ada yang suka nunggu.” “Sebentar, aku ke kamar mandi dulu ya?” kemudian ia berjalan menuju kamar mandi yang ada di ruangan praktiknya. Aku kembali membaca buku kesehatan yang ada di meja tamu kak Andra. “Ada apa An?” tanyanya saat baru keluar dari kamar mandi. “Nggak, sudah makan?” Dia menggeleng “Bawa makanan ya?” Aku mengangguk, menyerahkan tempat makan yang sudah berisi makanan. “Kamu sudah makan?” “Aku diet.” “Diet apa? Kurus begitu masih mau diet. Ayo makan berdua.” “Nggak ah, itu kan buat kakak. Aku udah makan tadi.” Dia menganguk, lalu menikmati makanannya. “Enak ya punya adik dokter, ngerti banget kalau kelaparan.” “Udah, nggak usah muji begitu, bilang aja masakanku e

Liefdesgeschiedenis - Red in Black (10)

Aku baru saja ingin memindah saluran televisi saat mendengar ponselku berdering. Ranti Putriningtyas Mbak, bisa bertemu? Kini aku melirik kak Andra yang berada di sampingku dengan satu potong Red in Black di piring kecil. "Apa?" tanyanya langsung. Aku meringis, menyerahkan ponselku yang masih menunjukkan pesan dari Ranti; calon istri Pram. "Ya sudah, temuin dia. Kalau mantan kamu dateng ya anggap saja dia sudah siap dengan hubungannya yang baru. Selesaikan yang belum selesai. Ungkapkan semua yang mengganjal buat kamu, biar hubungan kalian berakhir dengan baik walaupun tidak berakhir bahagia." Aku mengangguk, kemudan menerima ajakan dari Ranti. Aku dan Ranti sering berhubungan karena gadis itu yang meminta nomorku saat mengantarku pulang. Dan kak Andra? Sudah kuceritakan kisahku dengan Pram. Ia hanya berpesan bahwa aku harus melepasnya pergi; benar-benar melepasnya. "Nanti kalau aku jatuh cinta sama dia lagi gimana

Liefdesgeschiedenis - Rainbow (9)

There is always rainbow after the rain . Mungkin memang klise, tapi aku selalu percaya bahwa akan ada pelangi yang datang kepada kita setelah hujan turun. Aku menyukai hujan sejak lama, kemudian Pram datang dengan segala yang membuatku lebih mencintai hujan. Menurutnya, ia lebih ramah terhaap hujan hanya karena saat itu adalah saat yang paling tepat menikmati kopi. Dan kini, setelah satu bulan semenjak pertemuan terakhir kami dan aku yang melepasnya pergi melalui surat kecil. Aku lebih menikmati hidupku; setidaknya saat aku sedang melakukan apapun yang aku sukai. Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk suatu hubungan, terlalu banyak yang terjadi, banyak duka yang tercipta, tapi lebih banyak suka yang mengelilingi kami. lalu kini kami bagaikan dua orang tidak pernah menjalani hari bersama. Aku bagaikan patung dan dia batu. Kami hidup dalam diam. “Nggak ngelamun gitu nggak bisa? Ini kita lagi makan siang dan makananmu belum kamu sentuh.” ujar kak Andra, kini

Liefdesgeschiedenis - Pack Of Love (8)

“Sudah semua barangnya?” tanya mas Adrian. Aku mengangguk “Udah ya? Andian pulang dulu.” “Rumah kamu itu disini, harusnya pamit mau kerja, kalau mau pulang berarti kamu balik ke Malang.” Aku meringis “Iya-iya bawel.” “Hati-hati.” Aku mengangguk “Titip mama sama ayah ya mas?” “Jangan kebanyakan kerja kamu, jaga kesehatan, jangan galau terus, jangan lupa cari suami.” “Makanya, telpon lah mas.” Mas Adrian mengangguk. “Ya sudah, keretanya mau berangkat. Mas tinggal ya?” Setelah aku mengangguk, mas Adrian mengecup rambutku kemudian berjalan untuk turun dari kereta, tak lama kemudian ada perempuan yang datang dan menyapaku “Permisi ya mbak.” kemudian duduk di sebelahku. “Sendirian ya mbak?” tanya wanita itu kemudian. Aku mengangguk sopan. “Mau ke Jakarta?” Dia tersenyum “Iya, mau ketemu calon suami, kebetulan dia tinggal di Jakarta. Mbaknya tinggal di Jakarta?” “Iya, saya dokter di sana.” “Dokter? Wah hebat, saya aja cuma lulusan

Liefdesgeschiedenis - Only You (7)

Aku kembali termenung pada foto yang masih menjadi wallpaper di ponselku. Foto yang kuambil diam-diam saat dia sedang menikmati kepiting lada hitam buatanku, penuh bumbu di sekitar bibirnya hingga aku yang gatal tidak bisa untuk tidak menyentuhnya. “Kalau gambar aja rapi banget, tapi kalau makan belepotan.” kataku. “Masakanmu enak, aku berani aja kolesterol naik kalau kamu tetep masakin tiap malam sambil pakai sandal berbulumu itu.” dia melirik kearah sandal bulu berwarna merah jambu yang dibelikannya saat kami sedang berlibur di puncak. “Ih, aku nggak mau ya ngurus lelaki penyakitan.” aku memandangnya malas. “Oh gitu ya? Jadi cuma mau aku yang sehat?” Aku tertawa “Kalau aku mau kamu yang sehat ya waktu kamu sakit tipus kemarin udah aku tinggal kan? Lagian masa dokter malas buat ngerawat pasiennya sih?” Dia mengangguk-angguk “Iya deh, bu dokter kesayangan tukang gambar ini kan romantisnya ngalahin Blake Lively-Ryan Reynolds .” “Ah, tapi enak banget

Liefdesgeschiedenis - Iced Chocolate (6)

“Ceritanya sekarang jadi penggemar cokelat? Dulu kan tergila-gila sama kopi?” Aku tertawa “Nggak tahu, ketularan pasien-pasien kecil yang doyan banget sama cokelat.” “Makanya nikah! Aku udah punya buntut dua begini, situ jangankan punya buntut, kerjaannya sekolah mulu, sampe belum nikah.” “Situ ngeledek ya? Mentang-mentang udah punya buntut buat dibawa kemana-mana.” kataku, aku kembali meminum iced chocolate yang kupesan “Mana anakmu?” Sahabatku, Nana menggeleng “Lagi dipinjem sama eyangnya, mau dipamerin ke reuni sekolah.” Aku tertawa “Emangnya perhiasan dipamerin? Duh ya nenek-kakek jaman sekarang. Mama sama ayah juga udah mulai protes soal itu.” “Soal anak?” Aku mengangguk, menyendok Berry Happy -ku. “Nikah lah An, minta sama si Pram buat ngelamar kamu. Kalian udah lama pacaran, udah sama-sama mapan, udah sama-sama dewasa, apalagi yang kurang?” “Yang kurang itu, bagaimana kalau kami udah putus?” “Putus? Kapan?” “Baru dua minggu mungki

Liefdesgeschiedenis - Home Sweet Home (5)

Rumah adalah tempat kamu berkeluh kesah, Tempatmu menumpahkan semua rasa, Tempatmu berbagi cerita. Aku baru saja turun dari gerbong kereta api ketika mendengar ponselku berbunyi. Segera saja aku menerima panggilan itu “Ya yah? Ini Andian baru turun dari kereta, Andian tunggu di depan stasiun ya?”. “oke, waalaikumsallam.” ujarku kemudian menutup panggilan dan memasukkan kembali ponselku ke tas. Malang tidak banyak berubah; selain udaranya yang masih dingin, disini tetap menjadi tempat ternyaman, tempat untuk pulang. Orang-orang datang dan pergi dari tempat ini. Akhirnya aku berjalan melewati mereka untuk menuju depan stasiun, menunggu ayah yang baru akan sampai dalam beberapa menit lagi. Sampai di depan stasiun, aku kembali mengecek ponselku, melihat adakah tanda kehidupan di dalamnya, mengingat sudah beberapa waktu ponselku hampir saja tidak menujukkan kehidupannya. Jomlo itu nggak enak, ponsel serasa es batu, dingin. Belum lagi malam minggu yang rasanya pengen h