“Twist my heart?” aku membuka cokelat yang pagi ini diberkan oleh kak Andra.
Dia mengangguk, lalu duduk di mejaku, mengambil pigora foto dan memperhatikannya “Kamu waktu kecil kok beda ya sama sekarang?”
“Ya beda, aku kan tumbuh besar, nggak kecil terus.”
Dia terkekeh “Kamu dekat sama kakakmu?”
Aku mengangguk “Dia itu partner-in-crime ku, nggak jarang kita sering berantem terus sejam berikutnya dia udah jadi kakak yang perhatian sama adiknya.”
“Enak ya? Aku yang anak tunggal kadang iri sama temen-temen yang punya saudara.”
“Ya begitulah kak, kadang ya ada enaknya, kadang juga nggak enak, kak Adrian itu suka ngomel kalau aku punya pacar atau teman lelaki.”
“Iya? Nama kakak kamu hampir sama kaya namaku.”
Aku mengangguk “Dia itu orang pertama yang nggak setuju waktu aku kuliah di Jakarta, katanya Jakarta itu nggak baik buat aku.”
“Memang.”
“Ya tapi kan aku udah membuktikan kalau aku bisa jaga diri sendiri.”
“Tapi jaga hati nggak bisa.” dia menggerutu.
Aku memukulnya pelan “Ih kan hati itu rapuh, nggak semua orang bisa menjaga hatinya yang udah terlanjur patah, bahkan hancur.”
Dia tertawa “Ya nanti aku operasi hati kamu biar hati kamu jadi sehat lagi.”
“Ih, kamu kan dokter jantung, bukan dokter cinta!”
“Tapi aku bisa jadi dokter apa aja buat kamu.”
Aku tertawa “Jadi dokter hewan bisa dong ya? Nanti aku minta singa di kebun binatang buat kamu periksa.”
“Boleh, anything for you.” ia mengerling.
Aku mengunyah bola-bola cokelat berwarna-warni itu. “Nggak ada pasien yang diperksa hari ini? pagi-pagi udah keluyuran disini.”
“Sebentar lagi aku ke rumah sakit. Habis rindu obatnya apa kalau bukan ketemu?”
“Ih, ngaco.”
“Beneran, tanya sama penyair sana, apa obat rindu selain ketemu?”
“Iya deh, percaya.” kataku, kemudian ponselnya berdering.
“Aku angkat dulu ya?”
Aku mengangguk, ia berdiri dan mulai berbicara cepat.
“Dari rumah sakit, aku pergi sekarang ya? Mungkin nanti gabisa jemput kamu. Bakalan repot hari ini.”
“Iya.”
Dia mengacak rambutku. “Pak dokter cari uang buat nikahin bu dokter dulu ya?”
Aku tertawa “Iya, buat bulan madu ke Dubai.”
“Ih matre juga nih anak.”
“Udah, sana berangkat, pasienmu nunggu.”
Dia mengangguk, lalu kami berjalan menuju luar rumah sakit untuk mengantarnya. “Hati-hati.”
“Ya.” lalu ia menuju tempat parkir mobilnya. Aku masih di depan pintu rumah sakit memandangnya yang sudah hampir pergi dari rumah sakit.
“Andian.” panggil seseorang.
Aku mendadak kaku. Menoleh ke arah suara dan menemukan Pram berdiri dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
“Pram?”
Ia langsung memelukku “Maaf.”
Kami sudah menjadi tontonan umum saat aku berkata “Ada apa?” sambil melepas pelukannya. “Mau bicara? Ke ruanganku ya?” kemudian kami berjalan dalam keheningan menuju ruanganku.
#DapurCokelat – Twist My Heart
Comments
Post a Comment