“Sudah semua barangnya?” tanya mas Adrian.
Aku mengangguk “Udah ya? Andian pulang dulu.”
“Rumah kamu itu disini, harusnya pamit mau kerja, kalau mau pulang berarti kamu balik ke Malang.”
Aku meringis “Iya-iya bawel.”
“Hati-hati.”
Aku mengangguk “Titip mama sama ayah ya mas?”
“Jangan kebanyakan kerja kamu, jaga kesehatan, jangan galau terus, jangan lupa cari suami.”
“Makanya, telpon lah mas.”
Mas Adrian mengangguk. “Ya sudah, keretanya mau berangkat. Mas tinggal ya?”
Setelah aku mengangguk, mas Adrian mengecup rambutku kemudian berjalan untuk turun dari kereta, tak lama kemudian ada perempuan yang datang dan menyapaku “Permisi ya mbak.” kemudian duduk di sebelahku.
“Sendirian ya mbak?” tanya wanita itu kemudian.
Aku mengangguk sopan. “Mau ke Jakarta?”
Dia tersenyum “Iya, mau ketemu calon suami, kebetulan dia tinggal di Jakarta. Mbaknya tinggal di Jakarta?”
“Iya, saya dokter di sana.”
“Dokter? Wah hebat, saya aja cuma lulusan SMA, untung calon suami saya udah mapan. Kebetulan kami dijodohkan.”
Aku tersenyum lagi ke perempuan itu, perempuan itu mungkin hanya beberaa tahun dibawahku. “Saya Andian.” aku memperkenalkan diri.
“Ranti saya mbak.” Ia memperkenalkan dirinya. “Kok saya kaya pernah tahu mbaknya ya?”
Kurasakan kereta mulai bergerak saat aku bicara “Malang kan nggak terlalu besar, mungkin saja pernah melihat.”
Dia mengangguk-angguk “Minggu kemarin saya baru saja dilamar sama calon suami saya, sekarang saya sudah diminta untuk tinggal di rumah dia, kata keluarganya biar lebih gampang untuk mengatur pernikahan kami.”
“Semoga lancar ya mbak.”
“Terima kasih. Mbaknya baru pulang dari Malang?”
“Iya, baru cuti beberapa hari. Kangen keluarga.”
“Iya ya, nanti bakalan kangen sama keluarga, dari kecil saya sama keluarga terus, sekarang kalau mau menikah dan tinggal di Jakarta itu pasti bakal kangen sama keluarga.”
Aku mengangguk, mendengarkan ceritanya.
Akhirnya aku turun dengan setengah hati, melihat Pram subuh begini tidak akan membuat hariku menyenangkan seperti dulu. Setelah mengucapkan terima kasih dan memandangnya untuk yang terakhir kali, aku menutup pintu mobil dan mereka langsung meninggalkan kawasan apartemen.
“Saya nggak pintar soal cinta mbak.” kemudian terkekeh. “Semuanya ‘kan tergantung niat aja, kalau kita niat baik ya hasilnya baik.”
“Iya mbak.” ujarnya, aku hanya tersenyum lalu memilih bermain dengan ponselku sejenak, perjalanan dari Malang menuju Jakarta membutuhkan waktu 13 jam dan ini baru pukul dua siang.
Ada alasan tersendiri aku memilih kereta sebagai transpotasinya untuk pulang serta kembali ke Jakarta, aku lebih ingin menikmati waktu di perjalanan, melihat bagaimana keriuhan di stasiun, bagaimana sederhanannya sebuah keberangkatan dan kepergian seseorang.
***
Aku terbangun saat merasakan kereta berhenti. Setelah melihat palang stasiun, ternyata kereta sudah sampai di stasiun Cirebon. Aku melihat ponselku, jamnya menunjukkan pukul satu pagi. Dua jam sebelum kereta benar- benar berhenti di stasiun Gambir.
Aku masih bermain dengan ponselku saat dihampiri oleh kru di kereta, menanyakan apa aku membutuhkan sesuatu yang akhirnya kujawab dengan permintaan satu gelas kopi. Dan beberapa saat kemudian perempuan itu mendatangi tempat dudukku, menyerahkan gelas kertas yang berisi kopi dengan asap yang masih mengepul.
“Terima kasih.” Ujarku sambil menyerahakan uang kepada perempuan itu untuk kemudian berjalan menjauhi dudukku.
Kini perhatianku sepenuhnya pada cangkir yang kugenggam, mencium harum kopi yang membuatku merindukan seseorang.
“Mbaknya nggak tidur? Kok malah minum kopi?” tanya Ranti saat ia baru saja terbangun.
Aku mengangguk “Karena saya pasti nggak bisa tidur makanya pesan kopi.” Kemudian tersenyum padanya.
“Calon suami saya juga begitu, setiap hari harus minum kopi biar tenang.”
“Laki-laki kan memang suka kopi.”
“Tapi saya nggak terlalu suka, mungkin nanti saya akan mengurangi kopinya.” ujarnya.
Aku hanya mengangguk. Mana bisa laki-laki mengurangi kebiasaannya meminum kopi? Bahkan Pram pun setidaknya minum dua cangkir sehari.
Aku mendesah. Mengingat kopi sama seperti mengingat Pram, kecintaannya dengan kopi mengalahkan cintanya padaku. Itu yang dia bilang dulu.
Aku cinta kamu , tapi lebih cinta sama kopi buatanmu. Jadi yang menjadi belahan jiwaku ya kopi itu sendiri.
***
“Mbaknya dijemput?” tanya Ranti saat aku dan dia berjalan untuk bergantian turun dari kereta.
“Nggak, saya naik taksi.” Jawabku.
“Ikut saya saja ya? Saya dijemput calon suami. Daripada subuh begini naik taksi.” katanya.
Aku menggeleng kembali, menolaknya. Kemudian dia melihat sekeliling, mungkin melihat apakah calon suaminya itu sudah datang atau belum. Lalu kemudian ia memanggil seseorang “Mas Angkasa!”
Aku menoleh pada arah yang dituju Ranti, kemudian aku tercekat saat melihat laki-laki datang menghampiri tempat kami berdiri. Kulihat ia langsung melebarkan matanya saat tatapan kami bertemu.
Dia? Pram? Calon suami?
Aku baru saja mengeluarkan sumpah serapah saat Ranti kemudian berkata pada laki-laki itu yang baru berhenti di hadapannya. “Saya kira mas bakal terlambat jemput.”
Laki-laki itu tidak bergerak. Pundaknya kaku.
“Ini mbak Andian, saya ketemu dia di kereta tadi. Kebetulan dia dari Malang juga.”
Dia hanya mengangguk kikuk sementara aku memperhatikan kantung matanya yang menebal tanda bahwa pria itu sengaja mengurangi jam tidurnya.
“Ayo mbak. Ikut sama kita.” ajak Ranti kembali.
Aku kembali menolaknya, beralasan bahwa aku naik taksi karena apartemenku dekat dari stasiun. Namun Ranti tetap saja bersikeras hingga langsung menggandengku berjalan, sementara barang-barangnya dibawakan Pram. Laki-laki itu belum berkata apa-apa dan langsung memimpin jalan kami menuju mobilnya.
Perjalanan selama dua puluh menit diisi dengan diamnya aku setelah Ranti bertanya alamat apartemen dan meminta Pram mengantar aku lebih dulu. Padahal jika ia tidak bertanya Pram juga sudah terlampau hafal.
Aku duduk di belakang. Padahal tempat favoritku kini ditempati perempuan lain. Rasa cemburu pasti ada, malah semakin membara. Tapi sekarang aku siapa baginya? Hanya sekedar kenangan.
Akhirnya aku turun dengan setengah hati, melihat Pram subuh begini tidak akan membuat hariku menyenangkan seperti dulu. Setelah mengucapkan terima kasih dan memandangnya untuk yang terakhir kali, aku menutup pintu mobil dan mereka langsung meninggalkan kawasan apartemen.
Aku tersenyum lirih sambil menuju unit-ku. Setidaknya aku memberinya kenang-kenangan tadi. Untung saja aku mengingat benda itu sebelum aku turun. Aku meletakkan sekotak cokelat di saku belakang joknya dengan surat yang sudah kutulis di lembar notes milikku.
Pack of love for (my) architect man;
I used to miss you so much.
But I never felt like you really miss me back.
So, I just stopped missing you and setting you free.
An.
#DapurCokelat - Pack Of Love
Comments
Post a Comment