Rumah adalah tempat kamu berkeluh kesah,Tempatmu menumpahkan semua rasa,Tempatmu berbagi cerita.
Aku baru saja turun dari gerbong kereta api
ketika mendengar ponselku berbunyi. Segera saja aku menerima panggilan itu “Ya
yah? Ini Andian baru turun dari kereta, Andian tunggu di depan stasiun ya?”.
“oke, waalaikumsallam.” ujarku kemudian menutup panggilan dan memasukkan
kembali ponselku ke tas.
Malang tidak banyak berubah; selain udaranya yang
masih dingin, disini tetap menjadi tempat ternyaman, tempat untuk pulang.
Orang-orang datang dan pergi dari tempat ini. Akhirnya aku berjalan melewati
mereka untuk menuju depan stasiun, menunggu ayah yang baru akan sampai dalam
beberapa menit lagi.
Sampai di depan stasiun, aku kembali mengecek
ponselku, melihat adakah tanda kehidupan di dalamnya, mengingat sudah beberapa
waktu ponselku hampir saja tidak menujukkan kehidupannya.
Jomlo itu nggak enak, ponsel serasa es batu, dingin. Belum lagi malam minggu yang rasanya pengen hujan terus biar nggak sendirian di kos-an.
Aku tersenyum saat menemukan satu chat dari Kak
Andra, orang yang bertemu denganku di kedai cokelat saat aku ingin sendiri.
Andra adalah seniorku saat kami sama-sama kuliah kedokteran di Jakarta.
Andra Wistara
Have a great holiday!
Aku membalas pesannya, mengucapkan terima kasih.
Andra Wistara
Sudah sampai Malang?
Andian Paramita
Sudah, sedang menunggu jemputan kak.
Andra Wistara
Aku bukan kakak seniormu lagi, bisa menghentikan
panggilan KAK itu?
Andian Paramita
Haha, udah terbiasa kak.
Andra Wistara
Gimana kalau gantinya panggil sayang aja?
Andian Paramita
Konyolnya tambah parah ya kak? Astaga -_-
Andra Wistara
Kadang, hidup itu perlu ditertawakan An.
Andian Paramita
Hahaha, sebentar kak, sudah dijemput. Pulang dulu
ya?
Andra Wistara
Hati-hati dik.
Aku tak membalas pesan kak Andra yang terakhir
karena mobil ayah yang perlahan mendekati tempatku duduk. Kemudian pintu kemudi
yang menampakkan sosok pria paruh baya yang paling aku sayangi. Segera aku
memeluk dan menyalami beliau.
“Nungu lama ya?”
Aku menggeleng “Nggak kok yah.”
“Mama nggak bisa ikut, soalnya keponakanmu pada
rewel sama eyang putrinya.”
Aku mengangguk paham, mempunyai cucu yang super
manja bukanlah pekerjaan gampang, mungkin karena istri kakak lelakiku yang
terlalu memanjakan anak mereka.
“Kamu kebanyakan kerja jadi nggak makan ya, kurus
banget.” kata ayah saat kami mulai menuju rumah.
“Nggak lah yah.”
“Diet?”
“Nggak, Andian nggak suka diet yah.”
“Kamu kalau kerja ya nggak usah diforsir gitu,
gimana ceritanya dokter sampai sakit.”
“Iya yah, tenang aja.”
“Pram kemana?” tanya ayah kemudian.
“Andian udah putus sama Pram yah.”
“Putus? Kok bisa?”
“Ya bisalah yah, namanya juga belum jodoh.”
“Tapi dia ndak nyakitin kamu toh?”
Aku menggeleng “Nggak kok, semuanya berakhir baik.”
Aku mencoba berbohong.
Ayah mengangguk-angguk “Padahal ayah kira kamu
sama Pram bakalan nikah, kalian udah lama juga pacaran. Ya begitu itu kalau
kelamaan, nggak jadi nikah.” ujarnya. “Mau sama anak temen ayah itu? Dia kan
arsitek sama kaya Pram?”
Aku hanya menggeleng “Nanti kalau jodoh juga ada
jalannya yah.”
“Inget umur kamu itu nduk, bentar lagi 30, masa
nggak mau nikah?”
Aku hanya tersenyum, hingga akhirnya kami sampai
di rumah orang tuaku. Aku mengambil tasku lalu langsung menghambur ke pelukan
mama.
“Makanya kalau bisa itu dua bulan sekali pulang,
ini udah hampir setengah tahun kamu ndak pulang toh nduk?”
Aku tertawa ringan hingga telingaku panas karena
dijewer kakak lelakiku. “Ih sakit.”
“Umur aja udah tua, tapi kelakuan tetep kaya anak
kecil, kalah sama pasien-pasienmu.”
“Apasih mas.”
“Nggak kangen sama masnya ini?”
“Nggak!” ujarku lalu berlari masuk ke dalam
rumah, menghindari mas Adrian yang mengejarku. “Hai kakak ipar!”
“Hai An, akhirnya kamu pulang juga, masmu udah
kangen berat tuh.”
“Biarin, dia aja jarang banget nelpon aku, macam
aku nggak dianggap adik sama dia.” gerutuku.
“Kamu juga nggak telpon mas kan? Telpon si Pram
terus.” celetuk mas Adrian yang mengikutiku, kini ia duduk di sebelahku. “Mana
si Pram?”
Aku tak menjawab pertanyaan kakakku, mengalihkan
pendangan ke keponakanku. “Hai cantik. Makan apa? Bagi sama tante dong?” kataku
saat melihat Yasmin, anak mas Adrian.
“Ini tante, coklat, namanya” kata gadis yang
berusia lima tahun itu terlihat berpikir “Mah, ini namanya cokelat apa?” tanyanya
pada sang ibunda yang sibuk menyusui bayi mereka.
“Home Sweet Home.” tebakku.
“Lah itu tante tau.”
“Iya dong, tante kan pinter.” Aku kemudian
tertawa. “Kamu tahu kenapa cokelat itu dinamakan Home Sweet Home?”
Yasmin menggeleng “Kenapa tante?”
“Karena setiap kita makan cokelat itu, kita akan
merasa seperti di rumah sendiri, menghabiskan bersama keluarga.” Jawab mas
Adrian.
“Mas ih, kan aku yang mau jawab.”
“Kan aku papanya, kalau aku tahu, kenapa mesti
kamu yang jawab? Mending minta si Pram buat nikahin, biar kamu punya anak
sendiri, bukannya pasien kecil kamu atau anak mas yang diajarin pengetahuan
seperti itu.”
Aku menggerutu “Udah putus tau.” kataku pelan.
“Mama, anak gadismu putus lagi sama si Pram!!”
teriak mas Adrian.
“Putus? Kapan? Kenapa?” tanya mamaku kemudian.
Aku menarik napas, lalu melirik kearah kakak
satu-satunya yang kupunya sambil membisikkan awas-lo-ntar, ia tertawa tanpa
suara. “Belum jodoh mah.”
“Mama cariin jodoh ya? Masa udah tua belum nikah
juga?”
“Jangan dong mah, nanti juga ketemu sama
jodohnya.” jawabku.
“Terus kapan nikahnya kalau begitu? Mama juga
pengen lihat kamu pulang bawa suami dan anak, jadi rumah ini tambah ramai,
rumah kita nanti banyak anak kecil, mama bakal bahagia dan lega kalau kamu
begitu.”
Aku mengangguk “Nanti ya ma? Tunggu dateng dulu
jodohnya.”
“Jangan lama-lama, inget umur kamu.”
“Iya mama sayang.” Aku pun memeluk beliau,
mungkin memang tidak banyak yang bisa aku janjikan padanya, tapi yang harus
beliau tahu, akan selalu ada ruang tertinggi di hatiku untuk beliau, untuk
semua impian kami sekeluarga. Dan rumah adalah tempat dimana terdapat
keluargamu, a home is not a place, it’s a felling, and home is
where ever I’m with my family.
#DapurCokelat - Home Sweet Home
Comments
Post a Comment