Tulisan ini dibuat untuk mengikuti #WritingChallenge yang diadakan Kampus fiksi hari ke enam (23 Januari 2017)
Aku mengamatinya yang sedang menikmati sarapan favoritnya, sepiring waflle dengan sirup sedangkan aku hanya meminum latte untuk pagi hari. Sejatinya, kami akan berangkat ke kantor bersama setelah sarapan di kedai kopi dua puluh empat jam ini.
"Kenapa lihat aku kaya gitu?"
Aku menggeleng, "Nggak, kamu kalau makan ini pasti kaya nggak makan seharian."
Dia tertawa "Enggak lah, masakan kamu lebih enak dari waflle ini."
"Masakan aku biasa aja, malah dulu, sewaktu aku baru pindah ke Jakarta, banyak yang meremehakan itu."
"Kenapa?" tanyanya.
"Nggak tahu, katanya 'masih ada ya jaman sekarang perempuan bisa masak?' mereka tanya begitu." kataku.
"Kok bisa?"
Aku mengangkat bahu, "Padahal aku nggak pernah merasa seperti itu, menurutku memang perempuan walaupun sesibuk apapun dia, kayanya aneh aja nggak bisa masak. Ayah dan adikku yang laki-laki aja bisa masak dan rasanya enak, semua keluargaku bisa masak."
"Mereka cuma iri karena masakan mereka gagal dan nggak seenak masakan kamu." katanya menenangkan.
Aku tersenyum "Aku nggak pernah belajar masak, dari kecil selalu suka lihat mama masak di dapur, dan semuanya aku coba otodidak, tapi ya namanya jaman sekarang, mungkin pandangan mereka berbeda dengan pandanganku"
"Untung aja aku nggak sama mereka, aku sama kamu yang beda dengan mereka."
"Kamu tambah gombal belajar darimana sih?" tanyaku "Dari anak marketing ya?"
"Tahu banget ya kamu tentang anak marketing? Mentang-mentang pernah didektin sama mereka." gerutunya.
Kini aku tertawa "Iya, itu siapa namanya? Dewa itu kalau nggombal malah sempet bikin aku terpesona sama dia."
"Sekarang juga pasti terpesona sama dia."
Aku tersenyum senang "Nggak lah, kamu udah mengalihkan duniaku."
Ia tersenyum, kemudian mencubit hidungku "You too. Semenjak aku jatuh hati sama kamu, nggak ada perempuan yang lebih dimataku dari kamu, kamu itu teratas nilainya buat aku"
Aku tersenyum kembali, kemudian meneguk kopiku, "Udah, ayo cepet dihabisin, nanti kita terlambat, aku dimarahin sama pak bos!"
"Kamu ya, emang paling pinter merusak suasana indah." gerutunya namun ia tertawa.
Aku mengangguk, menikmati kopi dan dia adalah suatu kebahagiaan yang sederhana, kebahagiian yang akan aku syukuri.
Comments
Post a Comment