Tulisan
ini dibuat untuk diikut sertakan dalam #WritingChallenge yang diadakan Kampus
Fiksi dan BasaBasi Store hari pertama (11 Maret 2017)
Cerita tentang cinta monyet
Cerita tentang cinta monyet
Cinta monyet itu hal
yang tidak pernah tidak terjadi di hidup kita, entah kita sadari atau tidak,
rasa itu ada; bahkan saat kita belum beranjak dewasa.
Saya
mengingatnya, hari dimana saya menyadari bahwa dulu, sebelum kami semua
beranjak dewasa dan disibukkan dengan hidup yang bertambah rumit, kami pernah mengalami
cinta monyet- cinta yang menyenangkan.
Dulu,
saat saya masih setengah hati untuk pindah rumah bersama orang tua, saya
menemukan rumah putihnya- rumah putih dengan pagar kayu berwarna cokelat
setinggi leher saya ketika berumur sepuluh.
Perkenalkan,
namanya Bias- setidaknya saya memanggilnya begitu saat keluarga saya bertamu ke
tetangga di depan rumah kami.
Matanya
cokelat sama seperti mata ibunya, alisnya tebal setebal alis sang ayah dan dia
hanya satu tahun diatas umur saya, sehingga kami dengan polos berteman baik
tanpa memandang bahwa anak perempuan tidak akan bisa bermain sepak bola.
Oh
saya bisa bermain sepak bola, bakat saya menendang lebih baik daripada
mengayunkan raket ke udara.
Kami
satu sekolah, kami juga teman berjalan kaki saat berangkat atau pulang sekolah.
Kami bermain bersama kucingnya. Kami juga bermain ayunan yang ada di
halamannya, kami melakukan hampir semua permainan setiap sore, lalu malam hari
kami belajar bersama.
Lalu
apa yang berubah dalam pertemanan kami? Saya tidak menyadari pada awalnya-tentu
saja tidak. Lagi pula kami kan hidup di jaman yang belum tersentuh media dan
segala macam sihirnya.
Sampai
pada akhirnya rasa itu hadir, rasa kehilangan saat dia harus meninggalkan saya
demi mengikuti orang tuanya yang berpindah tempat berdinas.
Saat
itu, dia mengecup pipinya. Saya ingat, umur saya dua belas, saya baru kelas satu
dengan seragam putih-biru.
“Nanti
aku main ke rumah kamu. Kamu harus ada di rumah waktu aku pulang.”
Saya
mengangguk saat itu. Setengah merengek sambil memegang sweater abunya.
“Jangan
genit-genit. Sekolah yang bener, aku mau rapor kamu minimal isinya nilai
delapan di semua mata pelajaran.”
“Aku
nggak pinter olahraga, matematika juga.”
“Ya
belajar, kita kan pernah belajar main badminton, katanya kamu suka Susi Susanty?”
Aku
mengangguk “Tapi nggak enak kalau nggak ada kamu.”
“Kan
ada temen kamu. Pokonya mainnya sama temen perempuan, nggak boleh sama
laki-laki.”
“Bawel.”
“Biarin.”
“Yaudah,
aku pergi ya?”
“Nggak
ikut nggak bisa?”
“Terus
aku ikut siapa disini?”
“Ikut
aku, ikut mama sama papaku.”
“Nggak
ah! Kita sama-sama makan banyak, nanti mama kamu pusing.” katanya “Udah ya, aku
berangkat.”
Akhirnya
pelukan kami terlepas, dia berjalan dengan orang tuanya menuju mobil yang
kemudian pergi.
Terkadang, cinta
monyet yang kita alami adalah rasa yang ada saat kita bersama sahabat terdekat.
Comments
Post a Comment